Sabtu, 23 Juni 2012

Pertumbuhan Wilayah menurut Christaller dan Von Thunen


BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan tidak terjadi secara serentak, tetapi di tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai pusat pertumbuhan dan pada akhirnya akan menyebar melalui berbagai saluran dan mempunyai akibat akhir yang berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.
Pembangunan ekonomi yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang cukup tinggi belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Jadi masalah ketimpangan ekonomi antar daerah masih merupakan permasalahan yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Wilayah-wilayah diartikan sebagai sub sistem (regional) dari suatu sistem yang lebih besar (nasional), maka tugas pertama yang harus dilakukan untuk melihat proses terjadinya konsentrasi kegiatan-kegiatan utama yng berkembang dan mendorong munculnya pusat-pusat sub sistem wilayah. Pusat-pusat tersebut diidentifikasikan sebagai kota-kota. Kota merupakan suatu kesatuan ruang fisik atau permukimsn. Kota merupakan pula pusat hubungan ketergantungan dari kegiaatn-kegiatn penduduk di bidang ekonomi dan sosial yang bersifat non pertanian. Daerah perkotaan dan daerah-daerah diluarnya yang merupakan daerah pertanian (pedesaan) terpisah oleh suatu jarak.
Siebert membahas sejumlah faktor-fektur pertumbuhan seperti inovasi, pertumbuhan dalam persediaan tenaga kerja dimana pembangunan dilaksanakan dan aspek pengaruh yang ditimbulkan meliputi luas dan tingkat intensitasnya. Selanjutnya Siebert mengatakan bahwa tingkat pendapatan modal adalah lebih tinggi pada suatu pusat arus pendapatan yang dapat diinvestasikan. Terlihat bahwa Siebert terlalu menekankan pada pentingnya peranan skala ekonomi. Tingkat pendapatan modala relatif lebih tinggi di kota dari pada pedesaan. Faktor utama perbedaan pendapatan modal tersebut adalah berkaitan dengan inovasi, yang cenderung lebih mudah terlaksana pada pusat pertumbuhan, maka dari itu akumulasi modal dapat dikatan sebagai faktor yang mendorong polarisasi.



BAB II
PEMBAHASAN
1.    PENGERTIAN WILAYAH
           
            Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
           
            Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu:
1)   wilayah homogen (uniform/homogenous region)
2)   wilayah nodal (nodal region)
3)   wilayah perencanaan (planning region atau programming region).
           
            Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi :
1)   fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik.
2)   fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan.
3)   fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
           
            Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu:
(1) pertumbuhan
(2) penguatan keterkaitan
(3) keberimbangan
(4) kemandirian
(5) keberlanjutan.
            Interpretasi pertumbuhan wilayah dalam arti dinamika struktur industri adalah sangat penting. Alasannya adalah kerangka dasar analisis pertumbuhan wilayah dan lokasi industri secara komprehensif dan konsisten diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi ekonomi sub nasional (wilayah) dan pembangunan fisik. Analisis tersebut menggunakan tiga asumsi, yaitu :
(1) bahwa pertumbuhan wilayah secara overall (volume kegiatan ekonomi) ditentukan oleh kondisi bermacam-macam faktor lain dari pada pendapatan regional per kapita (aspek kesejahteraan dari pertumbuhan)
(2) bahwa pembangunan masa depan adalah hasil dari kegiatan dan keputusan masa lalu dan sekarang,
(3) bahwa faktor-faktor kritis dalam pola pertumbuhan wilayah yang terus berubah itu adalah hasil keputusan perusahaan-perusahaan mengenai lokasi dan output (jika dilihat ke belakang adalah sebagai input, dan dihubungkan ke depan adalah pasar dari industri-industri dalam perekonomian).

2.    TEORI TEMPAT SENTRAL (WALTER CHRISTALLER)
            Walter Christaller menulis buku Die Zentralen Orte in Sud Deutchland, Jena, Gustav Fischer, 1993 yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh E.W. Baskin dengan judul Central Places in Sounthern Germany, Eaglewood Cliffs, N.J, Prentice Hall, 1966. Walter Christaller mengintroduksikan teori tempat sentral (central place). Inti pokok teori tempat sentral adalah menjelaskan model hierarki perkotaan.

            Model Christaller dinyatakan sebagai suatu sitem geometrik yang dikenal dengan nama “Sistem K = 3”, dimana K ditetapkaan secara arbifrer sebagai huruf indeks yang digunakan untuk notasi pola permukiman.

            Christaller menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1.      Wilayah model merupakan dataran tanpa roman, tidak memiliki raut tanda khusus baik almiah maupun buatan manusia.
2.      Perpindahan dapat dilakukan ke segala jurusan, suatu situasi yang dilukiskan sebagai permukaan isotropik
3.      Penduduk serta daya belinya tersebar merata di seluruh wilayah
4.      Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak.
            Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, Christaller mengembangkan pemikirannya menyusun suatu model wilayah perdagangan yang efisien yang berbentuk segi enam (heksagonal) mengikuti tahap-tahap berikut ini.
1)   Mula-mula terbentuk wilayah perdagangan berupa lingkaran-lingkaran di atas dataran. Apabila lingkaran-lingkaran tersebut diletakkan berdekatan satu sama lain, maka kumpulan lingkaran yang paling efisien seperti ditunjukkan dalam gambar 1. A.
2)   Kemudian lingkaran-lingkaran tersebut saling bertumpang tindih. Lihat gambar 1 B.
3)   Akhirnya terbentuknya wilayah perdagangan yang berbentuk heksagonal yang meliputi seluruh dataran tanpa tumpang tindih menyerupai sarang lebah atau honeycombs. Lihat gambar 1 C.
Img04280.jpg
Gambar 1. Proses timbulnya wilayah perdagangan heksagonal: (A) Wilayah perdagangan yang terdiri dari lingkaran-lingkaran yang berdempet satu sama lain. (B) Lingkaran-lingkaran yang bertumpang tindih. (C) Wilayah perdagangan yang berbentuk heksagonal menutupi seluruh dataran tanpa tumpang tindih.
            Tiap wilayah perdagangan heksagonal memiliki pusat. Besar kecilnya pusat-pusat tersebut adalah sebanding dengan besar kecilnya masing-masing heksagonal. Heksagonal yang terbesar memiliki pusat yang paling besar, sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat yang paling kecil. Dalam keseimbangan jangka panjang seluruh wilayah sistem sudah tercakup yang berbentuk wilayah-wilayah heksagonal yang besarnya berbeda-beda dan saling bertindih satu sama lain. Susunan hierarki ini membentuk model pola permukiman sistem K = 3. Lihat gambar 2
Central_Place_Theory_4.jpg
Gambar 2. Suatu bagian dari pola permukiman K=3 menurut Christaller. Hanya tiga tingkatan yang paling besar dari pusat heksagonal yang dapat dilihat pada diagram.
            Secara horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan menusia yang terorganisasikan dalam tata ruang geografi, dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilaayh pelayanan yang lebih luas.
            Tempat-tempat sentral kecil dan wilayah-wilayah komplementernya tercakup dalam wilayah-wilayah perdagangan dari pusat-pusat yang lebih besar. Sedangkan secara vertikal, model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan metah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mempunyai jumlah dan jenis kegiatan-kegiatan serta volume perdagangan yang lebih besar dibandingkan pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Jika hierarki pusat-pusat tersebut sudah terbentuk, maka dapat disaksikan dominasi pusat-pusat yang lebih besar dan megutubnya arus gejala ekonomi ke pusat besar yang mencerminkan ciri sebagai wilayah-wilayah nodal.
            Prinsip pemasaran dan susunan piramidal pada model tempat sentral dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transpor. Di lain pihak dapat disebutkan beberapa kelemahan, yaitu model tersebut tidak menunjukkan adanya spesialisasi atau pembagian kerja di antara pusat-pusat tersebut, kecuali terdapatnya keterhubungan antara pusat yang lebih tinggi ordenya dengan pusat-pusat yang lebih rendah ordenya dalam hal suplai barang-barang hasil dan bahan-bahan mentah yang diperlukan. Selain dari pada itu menurut Christaller, seluruh wilayah perdagangan dapat di layani, sedangkan dalam kenyataanya sebagian dari wilayah-wilayah yang dimaksud tidak seluruhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan geografi. Teori tempat sentral dapat di katakan kaku dan terlalu sederhana.
            Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur hierarkis pusat-pusat kota dalam wilayah-wilayah nodal, akan tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola geografis tersebut terjadi secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan yang diintoduksikan oleh Perroux, yang membahas pertumbuhan-pertumbuhan struktural pada tata ruang geografis.
            Teori tempat sentral untuk sebagian bersifat positif karena berusaha menjelaskan pola aktual arus pelayanan jasa, dan untuk sebagian lagi bersifat normatif karena berusaha menentukan pola optimal distribusi tempat-tempat sentral. Keduanya mempunyai kontribusi pada pemahaman interrelasi spasial dan mengenai kota-kota sebagai sistem didalam sistem perkotaan.
            Dalam hubungan dengan pertumbuhan kota, teori tempat sentral menyatakan bahwa fungsi-fungsi pokok pusat kota adalah sebagai pusat pelayanan bagi wilayah komplementernya (wilayah belakangnya), yaitu mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa perdagangan, perbankan, profesional, pendidikan, hiburan dan kebudayaan dan jasa-jasa pemerintah kota.

            Richardson telah mengemukakan beberapa keterbatasan teori tempat sentral, yaitu sebagai berikut:
1)   Teori sentral tidak memberikan penjelasan secara lengkap mengenai pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan berdasarkan pembangunan daerah pertanian yang tersusun secara hierarkis dan berpenduduk secara merata. Dengan tumbuhnya kota-kota maka munculah jasa-jasa yang tidak berkenaan dengan pasar wilayah belakang, sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat menciptakan kebutuhan-kebutuhan sendiri, misalnya peningkatan penyediaan fasilitas penyediaan air minum, listrik, angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas parkir. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pertumbuhan kota ternyata tidak sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh tempat sentral.
2)   Analisis tempat sentral menekankan pada peranan sektor perdagangan dan kegiatan-kegiatan jasa dari pada kegiatan-kegiatan manufaktur. Kegiatan manufaktur dianggap sebagai kegiatan produktif non tempat sentral. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan, banyak kota-kota besar dan kota-kota lainnya seringkali mengalami perluasan dalam hal lokasi manufaktur karena kota-kota yang bersangkutan merupakan pasar tenaga kerja yang luas dan pada umumnya memberikan keuntungan-keuntungan aglomerasi, dimana perusahaan-perusahaan manufaktur lebih banyak melayani pasar nasional dari pada pasar-pasar regional
3)   Pertumbuhan kota meningkat terus dan setelah sampai pada suatu tingkat tertentu diperlukan tambahan sumberdaya-sumberdaya yang berasal dari luar wilayah nodal, misalnya sumberdaya tenaga kerja dan modal. Dalam hal ini arus masuknya sumberdaya-sumberdaya tersebut dari luar wilayah tidak dapat dijelaskan seperti halnya penawaran barang-barang dan jasa-jasa dari tempat sentral kepada wilayah-wilayah pasar di sekitarnya.

            Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan timbulnya kecenderungan yang kuat dalam masyarakat mengenai pengelompokkan perusahaan-perusahaan karena pertimbangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan ketergantungan lokasi.

            Meskipun model tempat sentral mempunyai keterbatasan-keterbatasan, namun sesungguhnya teori tempat sentral mengandung paling sedikit tiga konsep fundamental, yaitu ambang, lingkup, dan hierarki, H.W.Richardson, 1972, 72. Proses penyebaran pertumbuhan mengikuti pola ambang (jumlah penduduk), dan pola lingkup (sistem lokasi), kedua faktor tersebut menentukkan hierarki tempat sentral. Konsep-konsep ini merupakan unsur-unsur spasial yang penting dan dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan formal permintaan dan wilayah-wilayah perdagangan atau wilayah-wilayah pelayanan.

            Beberapa sumbangan positif teori tempat sentral dapat dikemukakan, yaitu teori tersebut adalah relevan bagi perencanaan kota dan wilayah, karena sistem hierarki merupakan sarana yang efisien untuk perencanaan wilayah. Tempat sentral besar seringkali merupakan titik pertumbuhan inti di wilayahnya dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi ke seluruh wilayah. Dengan demikian jelaslah bahwa distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah-wilayah nodal dan kemudian melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi. Teori tempat sentral mengemukakan model yang mudah dimengerti untuk menjelaskan pertumbuhan hierarki kota dan ketergantungan antara pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah di sekitarnya.

            Aplikasi teori Walter Christaller untuk Pembangunan Ekonomi :
Menerapkan teori tempat pusat, banyak penelitian telah dilakukan sehubungan dengan perusahaan dan kelangsungan ritel. Misalnya, dalam artikelnya, Shonkwiler (1996) meringkas pengetahuan penting yang telah ditetapkan oleh penelitian lain.
1)   Biaya transportasi rata-rata per pembelian diturunkan oleh belanja multiguna.
2)   Konsumen mungkin akan diinginkan untuk berbelanja di beberapa lokasi pada satu perjalanan.
3)   Tidak hanya penduduk tapi karakteristik demografi, struktur sosial ekonomi, pengeluaran potensial, dan perilaku belanja adalah faktor yang paling penting untuk menjelaskan pengelompokan spasial.
4)   Meskipun prinsip utama dari teori tempat pusat adalah bahwa produsen cenderung untuk mencari lokasi sejauh mungkin dari pesaing, perusahaan mungkin menyadari keuntungan dari aglomerasi dan manfaat dari sentralitas yang dihasilkan dari lokasi yang berdekatan.
5)   Pengembangan tempat sentral tergantung pada faktor-faktor seperti biaya transportasi, saham pengeluaran untuk barang yang relevan dan karakteristik biaya dari toko.
6)   Komisi Perencanaan melanjutkan upaya mereka pada perekrutan industri sementara mengejar strategi pembangunan lainnya seperti ritel sektor ekspansi mungkin diabaikan.

            Selain itu, dalam analisis statistik tentang bisnis ritel pedesaan, Shonkwiler (1996) menyimpulkan, "saling ketergantungan bisnis ritel ada dan nilai ambang batas minimal permintaan untuk sektor ritel, peka terhadap ada atau tidak adanya jenis lain dari perusahaan ritel."
           
            Selanjutnya, dalam analisis regresi untuk masyarakat pedesaan, Mushinski (2002) menyimpulkan "saling ketergantungan menggabungkan geografis eksplisit antara perusahaan di tempat dan sumber pasokan dan permintaan di daerah tetangga" ada, dan Selain itu "sangat signifikan pada sisi penawaran.", "Pendirian terpencil cenderung mengurangi jumlah perusahaan di tempat, yang menggarisbawahi pentingnya kompetisi spasial dalam pengembangan ritel."

3.    TEORI VON THUNEN
            Johann Heinrich von Thünen merupakan seorang ekonom yang menjanjikan pada abad ke-19. Von Thunen adalah seorang tuan tanah asal Mecklenburg (sebelah utara Jerman) yang merupakan pionir teori pemanfaatan tanah. Dalam buku karangannya yang berjudul Der Isolierte Staat in Beziehug suf Land Wirtshaft (1826) yang kemudian dialihbahasakan oleh Peter Hall menjadi The Isolated State to Agriculture (1966), beliau mengembangkan rumusan pertama mengenai teori ekonomi keruangan yang kemudian dihubungkan dengan teori sewa (rent). Johan Heinrich von Thunen (1826) juga telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan.
            Johan Heinrich von Thunen menguraikan teori sewa lahan diferensial dalam bukunya yang berjudul Der Isoleierte Staat, in Beziehung auf Landwirtschaft und Nationalokomonie (berlin : Schumacher- Zarchin, 1975). Inti pembahasan von Thunen adalah mengenai lokasi dan spesialisasi pertanian. Berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan, yaitu :
a.    Wilayah model yang terisolasikan (isolated space) adalah bebas dari pengaruh pasar kota-kota lain
b.    Wilayah model membentuk tipe permukiman perkampungan dimana kebanyakan keluarga petani hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan bukan tersebar di seluruh wilayah
c.    Wilayah model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam atau uniform (produktivitas tanah secara fisik adalah sama)
d.   Wilayah model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif seragam
e.    Faktor-faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah konstan, maka dapat dianalisis bahwa sewa lahan merupakan hasil persaingan antara berbagai jenis penggunaan lahan.
            Pada gambar 3, dapat dilihat bahwa fungsi sewa lahan menurun dengan bertambahnya jarak dari pusat kota. Dimisalkan hanya terdapat empat jenis penggunaan lahan yang bersaing (yaitu a, b, c, d) dan fungsi sewa lahan jarak adalah linier. Keempat fungsi sewa lahan tersebut bertumpangan dan berpotongan satu sama lainnya dalam diagram. Pola kegiatan a menempati antara O dan A, kegiatan B menguasai antara A dan B, kegiatan c antara B dan C, sedangkan kegiatan D menduduki tempat yang terjauh yaitu antara C dan D. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin dekat letaknya dengan pasar penjualan atau pusat kota, berarti semakin tinggi sewa lahannya dan semakin berkurang pula biaya transpornya. Sewa lahan pada suatu lokasi tertentu diukur oleh manfaat biaya transpor yaitu perbedaan biaya transpor pada lokasi tersebut dan pada perbatasan wilayah suplai.
                   a
                         
                            b                         
                                          c
                                                                    d
      O   a       A        B                C                   D          Jarak
                      b
                                  c
                                                  d
Gambar 3. Fungsi sewa lahan dari beberapa macam penggunaan
            Berdasarkan pada model penggunaan lahan di atas (concentric zones) maka dapat dijabarkan dari bentuk linear kepada pengertian areal dengan cara memutar P5 mengitari titik P sebagai pusat pada gambar 4 , dengan demikian dapat disusun suatu kawasan konsentris yang terbentuk cincin-cincin pola penggunaan lahan (sewa lahan) dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif. Jadi lokasi berbagai jenis produksi pertanian ditentukan oleh kaitan antara harga komoditas-komoditas pertanian dalam pasar dan jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar ditempatkan pada kawasan konsentris yang pertama disekitar kota, karena keuntungan yang tinggi perhektar memungkinkan untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya adalah kurang intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5JzwO-9NV1wgPCEWmfEBnI4NSaT0xX9Jd8NtNjoToTz3FqBLz0LHAbyPZYUiQEVt4ZihVBn4hxywCJgxAyBEA6BEBIOQSPtkvPHyTVjB02kBaOjwo5mmY0r5yowjRZ9hOYTQV_YMABAPH/s200/cincin.jpg
Gambar 4. Cincin-cincin pola penggunaan lahan
            Menurut Von Thunen, produsen-produsen tersebar di daerah luas, sedangkan pembeli-pembeli terkonsentrasi pada titik sentral. Titik sentral pada umumnya merupakan kota, dan tidak terdapat perbedaan lokasi di antara para pembeli di dalam kota. Semau pembeli membayar suatu harga tertentu, tetapi unit penghasilan bersih diantara para produsen berbeda-beda, tergantung pada jaraknya dari pusat konsumsi. Model von Thunen ini termasuk dalam kategori satu unit pasar dan banyak unit produksi.
            Jika terdapat kenaikan biaya transport, maka harga barang akan naik dan sebaliknya penurunan biaya transport akan menurunkan harga pasar dan memperbesar penjualan. Manfaat dari penjualan yang bertambah tersebut akan dinikmati oleh para penjual yang jaraknya lebih jauh, yang berarti lebih banyak penjual yang melayani suatu pasar, maka akibatnya permintaan meningkat pula.
            Gambar 3 memperlihatkan bahwa penjual tersebar disepanjang garis LL, dan semua pembeli terkonsentrasi pada M. Biaya produksi dan tingkat biaya trasnpor per unit jarak adalah konstan. MZ adalah harga yang dibayar oleh setiap pembeli pada M. Untuk seorang penjual pada jarak NM dari pusat konsumsi harganya adalah PN. Penjual-penjual disebelah kiri X dan di sebelah kanan Y tidak dapat melayani pasar, X dan Y adalah batas wilayah suplai yang terjauh. Jika biaya transpor diturunkan, maka biaya lengan (lereng) XZ dan YZ menurun kemiringannya, batas terjauh dari wilayah pasar sekarang menjadi  X1 dan Y1, harga yang dibayar oleh pembeli turun menjadi MZ1. Penjual yang terletak pada AA menderita, dan sebaliknya manfaat dari turunnya biaya transpor akan dinikmati oleh para penjual yang berada di luar AA.
                                                                       Z
                                                           P                     P
                                                                          Z1



















 


          L                                                                                                                           L
                      X1                 X        A     N      M       N     A         Y                 Y1
Gambar 5. Wilayah pasar : pembeli terpusat dan penjual tersebar
Meskipun model von Thunen dapat dikatakan masih sangat sederhana, tetapi sumbangan pemikirannya terhadap ilmu pengembangan wilayah adalah cukup penting, yaitu mengenai penentuan kawasan (zoning) menurut berbagai jenis kegiatan usaha. Keuntungan ini merperkaitkan kegiatan-kegiatan industri dan sektor-sektor lain secara agregatif. Di daerah perkotaan besar dapat diperoleh pelayanan kota, public utilities, dan jasa komunikasi, demikian pula tersedia tenaga terampil yang spesialistis, fasilitas hukum, administrasi perusahaan, daan berbagai jasa pelayanan lainnya yang tidak terdapat di kota-kota relatif kecil. Secara eksternal kekuatan-kekuatan aglomerasi memberikan sumbangan sebagai kekuatan konsentrasi, oleh karena itu kekuatan konsentrasi tersebut seharusnya jangan dikaitkan hanya pada salah satu sektor saja melainkan pada bebrapa faktor yang relatif menentukan. Dapat dikemukakan pula bahwa pengaruh urbanisasi yang ditimbulkan oleh aglomerasi itu sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor ekspor dan sektor-sektor yang menunjang ekspor, jasa perorangan, pendidikan, dan penyediaan jasa kemasyarakatan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini cenderung proporsional terhadap besarnya pusat-pusat perkotaan.
            Analisis aglomerasi diatas menjelaskan pengelompokkan kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu lokais tertentu, tetapi tidak menekankan pada kecenderungan pertumbuhan regional yang berkesinambungan sebagai akibat dari pengelompokkan tersebut. Proses pengelompokkan kegiatan-kegiatan selama suatu jangka waktu dijelaskan dalam analisis polarisasi, sedangkan aglomerasi dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari proses polarisasi. Salah seorang ahli ekonomi yang menekankan pentingnya pembangunan polarisasi adalah Friedmann.

dari berbagai sumber........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar