BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan
tidak terjadi secara serentak, tetapi di tempat-tempat tertentu yang disebut
sebagai pusat pertumbuhan dan pada akhirnya akan menyebar melalui berbagai
saluran dan mempunyai akibat akhir yang berlainan pada perekonomian secara
keseluruhan.
Pembangunan ekonomi yang
selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang cukup tinggi belum sepenuhnya
dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Jadi masalah ketimpangan
ekonomi antar daerah masih merupakan permasalahan yang perlu segera dicarikan
jalan keluarnya.
Wilayah-wilayah diartikan sebagai sub sistem (regional) dari suatu sistem
yang lebih besar (nasional), maka tugas pertama yang harus dilakukan untuk
melihat proses terjadinya konsentrasi kegiatan-kegiatan utama yng berkembang
dan mendorong munculnya pusat-pusat sub sistem wilayah. Pusat-pusat tersebut
diidentifikasikan sebagai kota-kota. Kota merupakan suatu kesatuan ruang fisik
atau permukimsn. Kota merupakan pula pusat hubungan ketergantungan dari
kegiaatn-kegiatn penduduk di bidang ekonomi dan sosial yang bersifat non
pertanian. Daerah perkotaan dan daerah-daerah diluarnya yang merupakan daerah
pertanian (pedesaan) terpisah oleh suatu jarak.
Siebert membahas sejumlah faktor-fektur pertumbuhan seperti inovasi,
pertumbuhan dalam persediaan tenaga kerja dimana pembangunan dilaksanakan dan
aspek pengaruh yang ditimbulkan meliputi luas dan tingkat intensitasnya.
Selanjutnya Siebert mengatakan bahwa tingkat pendapatan modal adalah lebih
tinggi pada suatu pusat arus pendapatan yang dapat diinvestasikan. Terlihat
bahwa Siebert terlalu menekankan pada pentingnya peranan skala ekonomi. Tingkat
pendapatan modala relatif lebih tinggi di kota dari pada pedesaan. Faktor utama
perbedaan pendapatan modal tersebut adalah berkaitan dengan inovasi, yang
cenderung lebih mudah terlaksana pada pusat pertumbuhan, maka dari itu
akumulasi modal dapat dikatan sebagai faktor yang mendorong polarisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
WILAYAH
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan
atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling
berinteraksi secara fungsional.
Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis.
Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia
serta bentuk-bentuk kelembagaan.
Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam
suatu batasan unit geografis
tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al.,
2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu:
1) wilayah
homogen (uniform/homogenous
region)
2) wilayah
nodal (nodal region)
3) wilayah perencanaan (planning region atau
programming region).
Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase
kemajuan perekonomian
mengklasifikasikan region/wilayah menjadi :
1) fase
pertama yaitu wilayah formal yang
berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang
seragam menurut kriteria tertentu, seperti
keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik.
2) fase
kedua yaitu wilayah fungsional yang
berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam
wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan
yang heterogen, seperti desa-kota
yang secara fungsional saling berkaitan.
3) fase
ketiga yaitu wilayah perencanaan
yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut
Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara
fungsional. Wilayah berasal dari
bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan
baik secara geometris maupun similarity”.
Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena
itu, yang dimaksud dengan
pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau
intensitas hubungan fungsional (tolong menolong,
bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah
Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan
pembangunan terkait dengan lima kata
kunci, yaitu:
(1) pertumbuhan
(2) penguatan
keterkaitan
(3) keberimbangan
(4) kemandirian
(5) keberlanjutan.
Interpretasi pertumbuhan wilayah
dalam arti dinamika struktur industri adalah sangat penting. Alasannya adalah
kerangka dasar analisis pertumbuhan wilayah dan lokasi industri secara
komprehensif dan konsisten diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi ekonomi
sub nasional (wilayah) dan pembangunan fisik. Analisis tersebut menggunakan
tiga asumsi, yaitu :
(1) bahwa
pertumbuhan wilayah secara overall (volume kegiatan ekonomi) ditentukan
oleh kondisi bermacam-macam faktor lain dari pada pendapatan regional per
kapita (aspek kesejahteraan dari pertumbuhan)
(2) bahwa
pembangunan masa depan adalah hasil dari kegiatan dan keputusan masa lalu dan
sekarang,
(3) bahwa
faktor-faktor kritis dalam pola pertumbuhan wilayah yang terus berubah itu
adalah hasil keputusan perusahaan-perusahaan mengenai lokasi dan output (jika
dilihat ke belakang adalah sebagai input, dan dihubungkan ke depan adalah pasar
dari industri-industri dalam perekonomian).
2.
TEORI
TEMPAT SENTRAL (WALTER CHRISTALLER)
Walter
Christaller menulis buku Die Zentralen Orte in Sud Deutchland, Jena, Gustav
Fischer, 1993 yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh E.W.
Baskin dengan judul Central Places in Sounthern Germany, Eaglewood Cliffs, N.J,
Prentice Hall, 1966. Walter Christaller mengintroduksikan teori tempat sentral
(central place). Inti pokok teori tempat sentral adalah menjelaskan model
hierarki perkotaan.
Model
Christaller dinyatakan sebagai suatu sitem geometrik yang dikenal dengan nama
“Sistem K = 3”, dimana K ditetapkaan secara arbifrer sebagai huruf indeks yang
digunakan untuk notasi pola permukiman.
Christaller
menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Wilayah
model merupakan dataran tanpa roman, tidak memiliki raut tanda khusus baik
almiah maupun buatan manusia.
2. Perpindahan
dapat dilakukan ke segala jurusan, suatu situasi yang dilukiskan sebagai
permukaan isotropik
3. Penduduk
serta daya belinya tersebar merata di seluruh wilayah
4. Konsumen
bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas,
Christaller mengembangkan pemikirannya menyusun suatu model wilayah perdagangan
yang efisien yang berbentuk segi enam (heksagonal) mengikuti tahap-tahap
berikut ini.
1) Mula-mula
terbentuk wilayah perdagangan berupa lingkaran-lingkaran di atas dataran.
Apabila lingkaran-lingkaran tersebut diletakkan berdekatan satu sama lain, maka
kumpulan lingkaran yang paling efisien seperti ditunjukkan dalam gambar 1. A.
2) Kemudian
lingkaran-lingkaran tersebut saling bertumpang tindih. Lihat gambar 1 B.
3) Akhirnya
terbentuknya wilayah perdagangan yang berbentuk heksagonal yang meliputi
seluruh dataran tanpa tumpang tindih menyerupai sarang lebah atau honeycombs.
Lihat gambar 1 C.
Gambar 1. Proses
timbulnya wilayah perdagangan heksagonal: (A) Wilayah perdagangan yang terdiri
dari lingkaran-lingkaran yang berdempet satu sama lain. (B) Lingkaran-lingkaran
yang bertumpang tindih. (C) Wilayah perdagangan yang berbentuk heksagonal
menutupi seluruh dataran tanpa tumpang tindih.
Tiap wilayah perdagangan heksagonal
memiliki pusat. Besar kecilnya pusat-pusat tersebut adalah sebanding dengan
besar kecilnya masing-masing heksagonal. Heksagonal yang terbesar memiliki
pusat yang paling besar, sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat yang
paling kecil. Dalam keseimbangan jangka panjang seluruh wilayah sistem sudah
tercakup yang berbentuk wilayah-wilayah heksagonal yang besarnya berbeda-beda
dan saling bertindih satu sama lain. Susunan hierarki ini membentuk model pola
permukiman sistem K = 3. Lihat gambar 2
Gambar
2. Suatu bagian dari pola permukiman K=3 menurut Christaller. Hanya tiga
tingkatan yang paling besar dari pusat heksagonal yang dapat dilihat pada
diagram.
Secara horisontal, model Christaller
menunjukkan kegiatan-kegiatan menusia yang terorganisasikan dalam tata ruang
geografi, dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya
mempunyai wilayah perdagangan atau wilaayh pelayanan yang lebih luas.
Tempat-tempat sentral kecil dan
wilayah-wilayah komplementernya tercakup dalam wilayah-wilayah perdagangan dari
pusat-pusat yang lebih besar. Sedangkan secara vertikal, model tersebut memperlihatkan
bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh
wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan metah di pusat-pusat yang lebih tinggi
ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Pusat-pusat yang
lebih tinggi ordenya mempunyai jumlah dan jenis kegiatan-kegiatan serta volume
perdagangan yang lebih besar dibandingkan pusat-pusat yang lebih rendah
ordenya. Jika hierarki pusat-pusat tersebut sudah terbentuk, maka dapat
disaksikan dominasi pusat-pusat yang lebih besar dan megutubnya arus gejala
ekonomi ke pusat besar yang mencerminkan ciri sebagai wilayah-wilayah nodal.
Prinsip pemasaran dan susunan
piramidal pada model tempat sentral dapat menjamin minimisasi biaya-biaya
transpor. Di lain pihak dapat disebutkan beberapa kelemahan, yaitu model
tersebut tidak menunjukkan adanya spesialisasi atau pembagian kerja di antara
pusat-pusat tersebut, kecuali terdapatnya keterhubungan antara pusat yang lebih
tinggi ordenya dengan pusat-pusat yang lebih rendah ordenya dalam hal suplai
barang-barang hasil dan bahan-bahan mentah yang diperlukan. Selain dari pada itu
menurut Christaller, seluruh wilayah perdagangan dapat di layani, sedangkan
dalam kenyataanya sebagian dari wilayah-wilayah yang dimaksud tidak seluruhnya
dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan
geografi. Teori tempat sentral dapat di katakan kaku dan terlalu sederhana.
Teori tempat sentral menjelaskan
pola geografis dan struktur hierarkis pusat-pusat kota dalam wilayah-wilayah
nodal, akan tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola geografis tersebut terjadi
secara gradual dan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada
masa depan, atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan gejala-gejala dinamis,
maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah yang menjelaskan
mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori
pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan yang diintoduksikan oleh
Perroux, yang membahas pertumbuhan-pertumbuhan struktural pada tata ruang
geografis.
Teori tempat sentral untuk sebagian
bersifat positif karena berusaha menjelaskan pola aktual arus pelayanan jasa,
dan untuk sebagian lagi bersifat normatif karena berusaha menentukan pola
optimal distribusi tempat-tempat sentral. Keduanya mempunyai kontribusi pada
pemahaman interrelasi spasial dan mengenai kota-kota sebagai sistem didalam
sistem perkotaan.
Dalam hubungan dengan pertumbuhan
kota, teori tempat sentral menyatakan bahwa fungsi-fungsi pokok pusat kota
adalah sebagai pusat pelayanan bagi wilayah komplementernya (wilayah belakangnya),
yaitu mensuplai barang-barang dan jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa
perdagangan, perbankan, profesional, pendidikan, hiburan dan kebudayaan dan
jasa-jasa pemerintah kota.
Richardson telah mengemukakan
beberapa keterbatasan teori tempat sentral, yaitu sebagai berikut:
1) Teori
sentral tidak memberikan penjelasan secara lengkap mengenai pertumbuhan kota karena
teori tersebut diformulasikan berdasarkan pembangunan daerah pertanian yang
tersusun secara hierarkis dan berpenduduk secara merata. Dengan tumbuhnya
kota-kota maka munculah jasa-jasa yang tidak berkenaan dengan pasar wilayah
belakang, sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat menciptakan
kebutuhan-kebutuhan sendiri, misalnya peningkatan penyediaan fasilitas
penyediaan air minum, listrik, angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas
parkir. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pertumbuhan kota ternyata tidak
sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barang dan jasa yang dihasilkan
oleh tempat sentral.
2) Analisis
tempat sentral menekankan pada peranan sektor perdagangan dan kegiatan-kegiatan
jasa dari pada kegiatan-kegiatan manufaktur. Kegiatan manufaktur dianggap
sebagai kegiatan produktif non tempat sentral. Hal ini tidak sesuai dengan
kenyataan, banyak kota-kota besar dan kota-kota lainnya seringkali mengalami
perluasan dalam hal lokasi manufaktur karena kota-kota yang bersangkutan merupakan
pasar tenaga kerja yang luas dan pada umumnya memberikan keuntungan-keuntungan
aglomerasi, dimana perusahaan-perusahaan manufaktur lebih banyak melayani pasar
nasional dari pada pasar-pasar regional
3) Pertumbuhan
kota meningkat terus dan setelah sampai pada suatu tingkat tertentu diperlukan
tambahan sumberdaya-sumberdaya yang berasal dari luar wilayah nodal, misalnya
sumberdaya tenaga kerja dan modal. Dalam hal ini arus masuknya
sumberdaya-sumberdaya tersebut dari luar wilayah tidak dapat dijelaskan seperti
halnya penawaran barang-barang dan jasa-jasa dari tempat sentral kepada
wilayah-wilayah pasar di sekitarnya.
Model tempat sentral ternyata tidak berhasil menjelaskan
timbulnya kecenderungan yang kuat dalam masyarakat mengenai pengelompokkan
perusahaan-perusahaan karena pertimbangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan
ketergantungan lokasi.
Meskipun model tempat sentral mempunyai keterbatasan-keterbatasan,
namun sesungguhnya teori tempat sentral mengandung paling sedikit tiga konsep
fundamental, yaitu ambang, lingkup, dan hierarki, H.W.Richardson, 1972, 72. Proses
penyebaran pertumbuhan mengikuti pola ambang (jumlah penduduk), dan pola lingkup
(sistem lokasi), kedua faktor tersebut menentukkan hierarki tempat sentral.
Konsep-konsep ini merupakan unsur-unsur spasial yang penting dan dapat
digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan formal permintaan dan
wilayah-wilayah perdagangan atau wilayah-wilayah pelayanan.
Beberapa sumbangan positif teori tempat sentral dapat
dikemukakan, yaitu teori tersebut adalah relevan bagi perencanaan kota dan
wilayah, karena sistem hierarki merupakan sarana yang efisien untuk perencanaan
wilayah. Tempat sentral besar seringkali merupakan titik pertumbuhan inti di
wilayahnya dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi ke seluruh wilayah. Dengan
demikian jelaslah bahwa distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota
merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah-wilayah nodal dan
kemudian melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi. Teori tempat sentral
mengemukakan model yang mudah dimengerti untuk menjelaskan pertumbuhan hierarki
kota dan ketergantungan antara pusat-pusat kota dan wilayah-wilayah di
sekitarnya.
Aplikasi teori Walter Christaller untuk Pembangunan
Ekonomi :
Menerapkan
teori tempat pusat, banyak penelitian telah dilakukan sehubungan dengan
perusahaan dan kelangsungan ritel. Misalnya, dalam artikelnya, Shonkwiler
(1996) meringkas pengetahuan penting yang telah ditetapkan oleh penelitian
lain.
1) Biaya transportasi rata-rata per
pembelian diturunkan oleh belanja multiguna.
2) Konsumen mungkin akan diinginkan untuk
berbelanja di beberapa lokasi pada satu perjalanan.
3) Tidak hanya penduduk tapi karakteristik
demografi, struktur sosial ekonomi, pengeluaran potensial, dan perilaku belanja
adalah faktor yang paling penting untuk menjelaskan pengelompokan spasial.
4) Meskipun prinsip utama dari teori tempat
pusat adalah bahwa produsen cenderung untuk mencari lokasi sejauh mungkin dari
pesaing, perusahaan mungkin menyadari keuntungan dari aglomerasi dan manfaat
dari sentralitas yang dihasilkan dari lokasi yang berdekatan.
5) Pengembangan tempat sentral tergantung
pada faktor-faktor seperti biaya transportasi, saham pengeluaran untuk barang
yang relevan dan karakteristik biaya dari toko.
6) Komisi Perencanaan melanjutkan upaya
mereka pada perekrutan industri sementara mengejar strategi pembangunan lainnya
seperti ritel sektor ekspansi mungkin diabaikan.
Selain itu, dalam analisis statistik
tentang bisnis ritel pedesaan, Shonkwiler (1996) menyimpulkan, "saling
ketergantungan bisnis ritel ada dan nilai ambang batas minimal permintaan untuk
sektor ritel, peka terhadap ada atau tidak adanya jenis lain dari perusahaan
ritel."
Selanjutnya, dalam analisis regresi
untuk masyarakat pedesaan, Mushinski (2002) menyimpulkan "saling
ketergantungan menggabungkan geografis eksplisit antara perusahaan di tempat
dan sumber pasokan dan permintaan di daerah tetangga" ada, dan Selain itu
"sangat signifikan pada sisi penawaran.", "Pendirian terpencil
cenderung mengurangi jumlah perusahaan di tempat, yang menggarisbawahi
pentingnya kompetisi spasial dalam pengembangan ritel."
3.
TEORI
VON THUNEN
Johann
Heinrich von Thünen merupakan seorang ekonom yang menjanjikan pada abad ke-19.
Von Thunen adalah seorang tuan tanah asal Mecklenburg (sebelah utara Jerman)
yang merupakan pionir teori pemanfaatan tanah. Dalam buku karangannya yang
berjudul Der Isolierte Staat in Beziehug suf Land Wirtshaft (1826) yang
kemudian dialihbahasakan oleh Peter Hall menjadi The Isolated State to
Agriculture (1966), beliau mengembangkan rumusan pertama mengenai teori
ekonomi keruangan yang kemudian dihubungkan dengan teori sewa (rent).
Johan Heinrich von Thunen (1826) juga telah mengembangkan hubungan antara
perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan.
Johan Heinrich von Thunen
menguraikan teori sewa lahan diferensial dalam bukunya yang berjudul Der Isoleierte
Staat, in Beziehung auf Landwirtschaft und Nationalokomonie (berlin :
Schumacher- Zarchin, 1975). Inti pembahasan von Thunen adalah mengenai lokasi
dan spesialisasi pertanian. Berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan, yaitu :
a. Wilayah
model yang terisolasikan (isolated space) adalah bebas dari pengaruh pasar
kota-kota lain
b. Wilayah
model membentuk tipe permukiman perkampungan dimana kebanyakan keluarga petani
hidup pada tempat-tempat yang terpusat dan bukan tersebar di seluruh wilayah
c. Wilayah
model memiliki iklim, tanah, topografi yang seragam atau uniform (produktivitas
tanah secara fisik adalah sama)
d. Wilayah
model memiliki fasilitas transportasi tradisional yang relatif seragam
e. Faktor-faktor
alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah konstan, maka dapat
dianalisis bahwa sewa lahan merupakan hasil persaingan antara berbagai jenis
penggunaan lahan.
Pada gambar 3, dapat dilihat bahwa fungsi sewa lahan
menurun dengan bertambahnya jarak dari pusat kota. Dimisalkan hanya terdapat
empat jenis penggunaan lahan yang bersaing (yaitu a, b, c, d) dan fungsi sewa
lahan jarak adalah linier. Keempat fungsi sewa lahan tersebut bertumpangan dan
berpotongan satu sama lainnya dalam diagram. Pola kegiatan a menempati antara O
dan A, kegiatan B menguasai antara A dan B, kegiatan c antara B dan C,
sedangkan kegiatan D menduduki tempat yang terjauh yaitu antara C dan D. Gambar
tersebut menunjukkan bahwa semakin dekat letaknya dengan pasar penjualan atau
pusat kota, berarti semakin tinggi sewa lahannya dan semakin berkurang pula
biaya transpornya. Sewa lahan pada suatu lokasi tertentu diukur oleh manfaat
biaya transpor yaitu perbedaan biaya transpor pada lokasi tersebut dan pada
perbatasan wilayah suplai.
a
b
c
d
O a A B C D Jarak
b
c
d
Gambar
3. Fungsi sewa lahan dari beberapa macam penggunaan
Berdasarkan pada model penggunaan
lahan di atas (concentric zones) maka dapat dijabarkan dari bentuk linear
kepada pengertian areal dengan cara memutar P5 mengitari titik P sebagai pusat
pada gambar 4 , dengan demikian dapat disusun suatu kawasan konsentris yang
terbentuk cincin-cincin pola penggunaan lahan (sewa lahan) dan didasarkan pula
pada aksesibilitas relatif. Jadi lokasi berbagai jenis produksi pertanian
ditentukan oleh kaitan antara harga komoditas-komoditas pertanian dalam pasar
dan jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu
menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar ditempatkan pada kawasan
konsentris yang pertama disekitar kota, karena keuntungan yang tinggi perhektar
memungkinkan untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya
adalah kurang intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama,
demikian seterusnya.
Gambar
4. Cincin-cincin pola penggunaan lahan
Menurut Von Thunen,
produsen-produsen tersebar di daerah luas, sedangkan pembeli-pembeli
terkonsentrasi pada titik sentral. Titik sentral pada umumnya merupakan kota,
dan tidak terdapat perbedaan lokasi di antara para pembeli di dalam kota. Semau
pembeli membayar suatu harga tertentu, tetapi unit penghasilan bersih diantara
para produsen berbeda-beda, tergantung pada jaraknya dari pusat konsumsi. Model
von Thunen ini termasuk dalam kategori satu unit pasar dan banyak unit
produksi.
Jika terdapat kenaikan biaya
transport, maka harga barang akan naik dan sebaliknya penurunan biaya transport
akan menurunkan harga pasar dan memperbesar penjualan. Manfaat dari penjualan
yang bertambah tersebut akan dinikmati oleh para penjual yang jaraknya lebih
jauh, yang berarti lebih banyak penjual yang melayani suatu pasar, maka
akibatnya permintaan meningkat pula.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa
penjual tersebar disepanjang garis LL, dan semua pembeli terkonsentrasi pada M.
Biaya produksi dan tingkat biaya trasnpor per unit jarak adalah konstan. MZ
adalah harga yang dibayar oleh setiap pembeli pada M. Untuk seorang penjual
pada jarak NM dari pusat konsumsi harganya adalah PN. Penjual-penjual disebelah
kiri X dan di sebelah kanan Y tidak dapat melayani pasar, X dan Y adalah batas
wilayah suplai yang terjauh. Jika biaya transpor diturunkan, maka biaya lengan
(lereng) XZ dan YZ menurun kemiringannya, batas terjauh dari wilayah pasar
sekarang menjadi X1 dan Y1,
harga yang dibayar oleh pembeli turun menjadi MZ1. Penjual yang
terletak pada AA menderita, dan sebaliknya manfaat dari turunnya biaya transpor
akan dinikmati oleh para penjual yang berada di luar AA.
Z
P P
Z1
L L
X1 X A N M
N A Y Y1
Gambar
5. Wilayah pasar : pembeli terpusat dan penjual tersebar
Meskipun
model von Thunen dapat dikatakan masih sangat sederhana, tetapi sumbangan
pemikirannya terhadap ilmu pengembangan wilayah adalah cukup penting, yaitu
mengenai penentuan kawasan (zoning) menurut berbagai jenis kegiatan usaha.
Keuntungan ini merperkaitkan kegiatan-kegiatan industri dan sektor-sektor lain
secara agregatif. Di daerah perkotaan besar dapat diperoleh pelayanan kota,
public utilities, dan jasa komunikasi, demikian pula tersedia tenaga terampil
yang spesialistis, fasilitas hukum, administrasi perusahaan, daan berbagai jasa
pelayanan lainnya yang tidak terdapat di kota-kota relatif kecil. Secara
eksternal kekuatan-kekuatan aglomerasi memberikan sumbangan sebagai kekuatan
konsentrasi, oleh karena itu kekuatan konsentrasi tersebut seharusnya jangan
dikaitkan hanya pada salah satu sektor saja melainkan pada bebrapa faktor yang
relatif menentukan. Dapat dikemukakan pula bahwa pengaruh urbanisasi yang
ditimbulkan oleh aglomerasi itu sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor
ekspor dan sektor-sektor yang menunjang ekspor, jasa perorangan, pendidikan,
dan penyediaan jasa kemasyarakatan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini cenderung
proporsional terhadap besarnya pusat-pusat perkotaan.
Analisis aglomerasi diatas
menjelaskan pengelompokkan kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu lokais
tertentu, tetapi tidak menekankan pada kecenderungan pertumbuhan regional yang
berkesinambungan sebagai akibat dari pengelompokkan tersebut. Proses
pengelompokkan kegiatan-kegiatan selama suatu jangka waktu dijelaskan dalam
analisis polarisasi, sedangkan aglomerasi dapat diinterpretasikan sebagai
akibat dari proses polarisasi. Salah seorang ahli ekonomi yang menekankan
pentingnya pembangunan polarisasi adalah Friedmann.
dari berbagai sumber........
dari berbagai sumber........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar